tumbrl |
Disampingku
berdiri, duduk lah seorang gadis mungil yang sedang asik melukis dan memadukan
warna menjadi satu, ia tampak sibuk memilih-milih warna yang akan
ditumpahkannya ke kertas kanvas berukuran lumayan besar dibandingkan pemilik
kertas kanvas tersebut. Goresan demi goresan warna memenuhi kanvas yang semula
putih, kuas-kuas menari dan berlarian, warna-warna kontras saling bertubrukan.
Dan nampak dari wajahnya terlihat senang. Ekspresinya lembut dan bibirnya
sesekali merajut senyuman, tergambar jelas kecintaannya melukis lewat ekspresi
lembut yang menyejukkan itu.
Dan Ekspresi
lembut nan menyejukkan itu membuat tanganku berkeringat dingin karena sedari
tadi menahan gejolak perasaan ingin membelai rambutnya, lama-kelamaan tanganku
terasa kaku, kenapa aku tak berani menyentuhnya barang sehelai rambut pun ?
“Wah hujan ! aku boleh hujan-hujanan ?” Pekiknya
tiba-tiba. Refleks ku menoleh ke jendela yang sekarang mengalihkan konsentrasi
melukisnya. Mengalihkan dari dunia abstraknya. Menghilangkan kekakuan tangan ku
dan juga rasa ingin menyentuhnya untuk sejenak.
“Tidak, jangan ! nanti kamu sakit, kamu lupa tugas
melukismu harus selesai besok ?”
“Tapi sebentar saja ! aku janji tidak akan sakit dan aku akan menyelesaikan lukisanku hari ini.”
“Tapi sebentar saja ! aku janji tidak akan sakit dan aku akan menyelesaikan lukisanku hari ini.”
“Tidak, ku larang kau gadis muda.”
“Tapi aku merindukan hujan, aku benci kemarau.”
merindukan hujan ? hanya aku satu-satunya yang boleh kamu rindukan.
merindukan hujan ? hanya aku satu-satunya yang boleh kamu rindukan.
“Anjani, tidak jangan !”
cegah ku percuma, suara ku hilang terbawa angin. Kini gadis itu berada
dihalaman villa sambil berteriak-teriak senang dan sesekali melambaikan tangan,
aku hanya bisa tersenyum sambil menahan khawatir.
“Dimas ayo kesini ! jarang-jarang loh hujan dibulan Mei.”
“Kali ini tidak, kita masih harus menyelesaikan lukisan
mu.”
“Jadi yang kamu khawatirkan semua itu hanya tentang tugas
lukisan ?”
tidak, kamu salah besar.
tidak, kamu salah besar.
“Tidak, bukan.”
“Kalau begitu temani aku melepas rindu, aku ingin mencair
dalam hujan.”
aku tak ingin kamu mencair, aku tak ingin kamu hilang, aku tak ingin kamu merindukan hujan.
aku tak ingin kamu mencair, aku tak ingin kamu hilang, aku tak ingin kamu merindukan hujan.
“Kamu gadis keras kepala.” namun aku tetap melangkahkan
kaki keluar, tak kuasa menolak permohonan gadis kecil yang diam-diam aku cintai
sepenuh hati.
* * *
Anjani sakit, ia terbaring dikamar bercat pink yang
bertemakan musim semi, penyebab sakitnya sudah pasti karena pelepas rindunya
kemarin. Aku hanya bisa memandang galak kearah gadis mungil yang warna mukanya
terlihat seperti bukan orang yang sedang sakit itu. Sesekali ia bersin dan
gelagapan mencari tisu untuk menyeka lendir di hidungnya.
“Minum obatmu, Jani.” kataku dingin, aku bersikap
seolah-olah marah agar ia menurut dan meminum obat yang ku sodorkan. Anjani
terlalu takut dengan obat yang berukuran besar. Takut tersangkut ditenggorokan
adalah alasan terampuhnya dari sekian alasan yang ia buat.
“Jangan paksa aku Dim, kamu tau kenapa.” ketus Anjani
bahkan tak memandang obat itu sedikitpun.
“Ayolah ini tak begitu sulit. Hanya perlu beberapa
kekuatan.”
“Aku bukan gadis yang kuat.”
“Kau kuat Jani, kau tau itu. gadis mana yang berani
hujan-hujanan hanya karena rindu ? Kebanyakan wanita sekarang lemah, mereka
takut dengan hujan. mereka mengeluhkan make-up mereka akan luntur, baju mereka
akan basah, wangi parfum mereka akan memudar. Tapi kau tidak.”
“Ah kau meledek ku.” suaranya manja terdengar seperti
anak kecil yang merajuk. Aku senang melihat tingkahnya seperti itu, wajah yang
dengan susah payah ku buat agar terlihat galak itu seketika berubah menjadi lembut.
Aku tak pernah bisa memarahinya, bahkan untuk hanya sekedar memaksanya. Aku
hanya bisa menyayanginya diam-diam.
“Baiklah aku takkan memaksa lagi. Kau tahu, dimataku
Anjani adalah seorang gadis kuat, tapi mungkin aku salah.” sekali lagi ku
pancing dia.
“Dimatamu Anjani kuat ?.” Matanya membesar, sepertinya
pancinganku berhasil.
“Ya, tapi mungkin aku salah.” bisikku mencoba
memancingnya lebih. Aku beranjak dari sampingnya dan menjauh untuk melihat tanggapannya.
Nampak ia terkesiap, matanya makin membesar.
“Tidak, Dimas selalu benar dimataku.” giliran ku yang
terkesiap mendengar kalimatnya, dimatanya aku selalu benar ?
“Aku mau minum obat, mana obatnya Dimas ? akan ku
buktikan kau benar.” katanya. Aku tersenyum, aku berhasil memancingnya. Aku
selalu berhasil tentang dia.
* * *
Anjani sehat kembali, ia memang gadis kuat. Anjani pun
melanjutkan tugas lukisannya yang terpaksa terhenti karena sakit. Dengan setia aku
menemani disamping walaupun sebenarnya aku tak mengerti apa pun tentang
lukisan. Aku tak mengerti sebuah coret-coret dan garis yang saling bertabrakan
dan bersinggungan itu bisa disebut sebuah lukisan ? Sebuah abstrak bagi mereka
yang mengerti seni, namun hanya coret-coretan asal bagi orang awam.
“Kenapa kamu suka melukis Jani ? kamu cantik, bisa saja
menjadi model kalau kamu mau menerima tawaran para pencari bakat itu. Kamu
pintar, bisa saja menjadi guru atau yang lainnya. Tapi kenapa kamu lebih
memilih seni lukis ?” Tanya ku sambil memandang lukisannya, semakin ku pandang
semakin ku tak mengerti. Anjani hanya diam sambil tersenyum.
“Anjani, kenapa diam ? Aku sedang bertanya.”
“Karena dengan melukis aku bisa memperlihatkan khayalanku
ke kamu, karena dengan melukis aku bisa menciptakan dunia ku sendiri.” Aku
tertegun. Sungguh betapa pemikirannya membuat ku kagum. Aku mencintainya Tuhan.
* * *
Pagi
kembali datang, aku segera bangun dan menuju teras kamar untuk menghirup udara
segar, selain untuk menyegarkan mata yang masih dihinggapi ngantuk, juga
sekalian mengisi paru-paru dengan udara bersih. Udara dipedesaan memang tiada tandingannya
dibandingkan udara Ibukota yang pengap. Ketika sedang asik memperhatikan burung
pipit yang bermain diranting pohon, handphone ku yang terletak diatas meja
bergetar, nampak terlihat foto seorang wanita berkemeja biru muncul pertanda
bahwa ia lah sang penelpon. Aku segera mengangkatnya dan berbicara singkat
sambil ku selipkan kalimat ‘rindu’, ‘ingin bertemu’, dan tentu saja ‘aku
mencintaimu, Bella’, setelah selesai aku menaruh kembali handphone itu dan
beranjak menuju dapur, namun belum ada selangkah aku dikejutkan oleh kehadiran
Anjani yang membawa nampan berisi susu hangat dan beberapa lembar roti serta
selai.
“Anjani,
ternyata kamu bisa ya bangun pagi.” Goda ku menyembunyikan kaget.
Tuhan aku tak ingin dia mendengarku mengucap cinta pada wanita lain.
Tuhan aku tak ingin dia mendengarku mengucap cinta pada wanita lain.
“Tadi
itu Bella ya, calon istrimu ?” bukannya membalas godaan ku seperti biasanya
Anjani malah melontarkan pertanyaan.
“Iya.”
Jawabku kaku. Ia pasti akan mengejekku dengan kalimat ‘aku mencintaimu darling
muah muah, haha dasar sepasang kekasih labil’seperti biasanya. Namun diluar
perkiraan, Anjani hanya tersenyum kecut sambil menaruh nampan diatas meja, dan
kemudian pergi. Apa dia cemburu ? Ah pikiran konyol, ia tak mungkin mencemburuiku.
Seorang Dimas tak sebanding dengan Anjani. Anjani bintang dan aku hanya
bebatuan. Anjani musim semi dan aku musim kemarau. Tak mungkin bersanding, tak
mungkin bersama.
* * *
Langit kembali
gelap meninggalkan sang surya, namun Anjani tak kunjung bicara. Anjani bungkam,
seakan suaranya hilang dibawa serta sang mentari yang digantikan bulan. Anjani
ku kenapa ?
“Jani, kamu
kenapa ? apa aku ada salah ?” tanya ku pelan. Aku duduk disampingnya. Disampingnya
bukan berarti bahu kami saling menempel, aku selalu mengambil jarak beberapa
senti darinya untuk batas aman. Aku takut bila aku terlalu dekat dengannya
debaran jantung ku akan terdengar dan aku tak ingin ia merasakan jemari ku yang
semakin lama semakin dingin.
“aku mohon
jangan diamkan aku, malamku sepi dan hanya kamu pemberi canda.” Namun Jani
tetap bungkam. Lama Jani hanya memandang kosong kearah TV yang menyiarkan
sinetron sampah, acara TV yang selalu ia caci. Ditangannya tergenggam sebuah pas
photo berukuran sedang.
Detik bertemu
menit, menit merajut waktu lebih lama dibanding biasanya. Aku yang tak tahan dengan
keheningan itu pun beranjak keluar. Kalau yang diinginkan Anjani adalah
ketenangan, maka akan aku berikan. Aku pun bersender pada tiang teras dan
memandang bintang.
“Dimas, aku
pernah menonton film. Didalamnya diceritakan bila kita menulis inisial nama
orang yang kita cintai dengan jari dibintang, kita akan mendapatkan hatinya.
Menurutmu itu masuk akal ?” kata Jani tiba-tiba, entah sejak kapan ia bediri
disebelah tiang yang aku senderi.
“Kau sendiri
apa menurut mu itu masuk akal ?” tanya ku balik, tidak menjawab pertanyaannya
karena aku yakin Jani juga tau aku akan menjawab tidak.
“Aku tidak
percaya, itu tidak masuk akal.”
“Kenapa ?
bukannya itu romantis, kamu selalu menyukai hal-hal yang romantis.”
“Itu bukan
romantis atau tidaknya. Tapi apa mungkin dengan seperti itu dia yang ku cintai akan mencintaiku ?
apa dengan menulis dibintang semua yang kita inginkan akan tercapai ? tidak
tanpa usaha.”
“Bagus lah kau
sudah bisa berpikir lebih tentang cinta.” Kalimatku agak ketus karena kalimat
Jani barusan menegaskan bahwa ia sedang jatuh cinta pada sesorang.
“Ya aku memang
berpikir itu tidak masuk akal, tapi aku melakukannya hampir disetiap malam.
Bukan hanya sekedar menulis inisialnya, tapi juga melukis wajahnya pada
bintang.”
“Kenapa ?
bukannya kamu tahu itu hanya buang-buang waktu ?”
“Karena aku
tau usaha ku mencintai dia hanya
sia-sia. Ketika kamu tahu hal itu kamu akan melakukan hal apa saja walaupun
kamu tahu itu hanya buang-buang waktu.” Jelas Anjani. Rahangku mengeras. Lelaki
mana yang dicintainya ? Lelaki mana yang menyia-nyiakan hati wanita yang
diam-diam aku cintai bahkan melebihi diriku sendiri ?
“Siapa dia,
yang selalu kamu ukir namanya dibintang itu ?”
“Tak penting,
dia akan segera menikah.”
“Kenapa kamu
bisa mencintai lelaki yang akan menikah ?”
“Aku sudah
lama mencintainya, tanpa ia sadari.”
“Kenapa tak
kamu ungkapkan ?”
“Karena sudah
ku bilang. Itu hanya sia-sia, ia tak pernah sadar walaupun aku sudah berulang
kali memberi tanda. Lagipula aku tahu bahwa aku berdosa mencintainya.” Setelah
berucap seperti itu Anjani melangkah masuk kedalam, meninggalkan aku yang
merasa seperti ditusuk ribuan jarum. Kali ini bukan hanya jemariku, tapi
seluruh badanku kaku.
“Jani, dari
dulu sampai sekarang aku menyimpan satu rahasia darimu.” Kataku menghentikan
langkah Jani. Ia tak menoleh, tak mempertanyakan kalimat ku barusan, tak juga
melanjutkan langkahnya. Ia menunggu.
“Kamu tau,
siapa wanita yang aku cintai hidup dan matiku ?.”
“Bella kan ?
Itu bukan rahasia karena siapa pun mengetahui itu” Tanya Anjani tetap memunggungi
ku. Tanganku dingin, inginku membelai rambutnya. Aku maju menghampiri Jani dan
ku beranikan diri, aku sudah tak bisa menahannya. Aku bukan hanya sekedar
menyentuh ujung rambutnya, tapi aku merengkuhnya, memeluknya dari belakang.
“Dia yang ku
cinta memiliki ekspresi wajah yang lembut nan menyejukkan siapapun yang
melihatnya. Dia yang ku cinta selalu membuat tanganku kaku karena menahan rasa
ingin menyentuhnya. Dia yang ku cinta selalu membuatku cemburu dengan
kerinduannya akan hujan. Dia yang ku cinta selalu menolak minum obat dengan
berbagai alasan. Dia yang ku cinta selalu membuatku kagum dengan
pemikiran-pemikiran polosnya. Dia kuat, dia pintar melukis, dia cantik dan dia
adalah adik kandungku sendiri.” Anjani terdiam, aku pun terdiam. Tanganku masih
erat memeluknya. Gerimis mulai turun, langit seakan menangis mendengar
pengakuan tulusku.
“Jelas itu
bukan Bella.” Jawabnya. Suaranya parau. Anjani ku menangis.
“Iya, dia itu Anjani. Anjani lah dia yang selama ini kucintai.” Tuhan
pasti murka atas cintaku, cinta yang ku pendam adalah cinta yang dibenci Tuhan.
Anjani hanya diam, ia berbalik dan kini kami saling berhadapan. Aku siap untuk
dicacinya atau bahkan mungkin diludahinya. Tapi ia balas memelukku.
“Satu-satunya
inisial nama lelaki yang aku tulis dibintang adalah DA. Dimas Arjuna. Aku sadar
aku berdosa mencintaimu. Tapi aku tak bisa terus menutupi ini. Dena Anjani
mencintamu, kak.”
Mataku basah
oleh airmata. Diantara pandangan yang mengabur bisa ku lihat pas photo yang
tadi digenggam Jani. Itu adalah photo sewaktu aku wisuda dengan Ayah berdiri
disamping kiriku, ibu duduk didepanku bersama Jani, adikku yang tersenyum amat
manis didepan kamera.
PERINDU HUJAN. TAMAT
27 November 2013,
9.41 PM
Sekar
Arum Mukti
wow. so sweet neng (y)
BalasHapus"Kebanyakan wanita sekarang lemah, mereka takut dengan hujan. mereka mengeluhkan make-up mereka akan luntur, baju mereka akan basah, wangi parfum mereka akan memudar"
BalasHapusyang ini pas banget bahaha
ceritanya campur aduk rum, ada terharu, lucu, dll jadi satu, walau lucunya gak terlalu banyak tapi pas ceritanya :')
kasih jempol
serius ? terima kasih sdah membaca ^^
BalasHapusbagian itu bujur kelo ? binian wahini kayatu berataan hohoho tapi lun kada *kisahnya*
BalasHapusebuseet kededa niat gasan humor, niatnya bikin nangis -_- mun ada humornya itu bukan kesengajaan hehe
haha kdpp aja hubur dalam tulisan yg agak serius itu bagus, jadi irama naik~turunnya ceillah
BalasHapuskurang promo aja ini tulisan hha
hubur ? hiburan maksudnya ? ._.
BalasHapustapi bagus cerpennya lah ? masih supan nah mun dibaca orang banyak. tekutan orang kada paham maksudnya --a
y srius lh, cucok.hehe
BalasHapus