Minggu, 23 Juni 2013

Great ideals for young women



              

Entah kenapa dini hari diawal oktober yang biasanya sejuk itu hari ini terasa begitu panas dan lembap. Berkali-kali peluh ku menetes membasahi kaus oblong kucel yang ku pakai untuk membantu ibu membungkus jualan asinan. Ya, ibu ku hanya seorang penjual asinan keliling sementara ayah ku telah tiada. Sementara aku hanyalah seorang anak biasa yang tidak menarik dan tidak begitu pintar, hidup dalam kesederhaan. Panggil saja aku Eneng. Aku hidup bertiga dengan Ibu dan adik ku yang masih kecil. Ku pandangi wajah mungil adik ku yang sedang terlelap menggemaskan, kemudian aku tatap muka bijaksana Ibu ku. Mereka lah harta dihidup ku, tak ada hal lain dibenak ku kecuali dua orang berharga itu dan impian ku menapaki jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Tik tok tik tok waktu terus berjalan, tak terasa hampir sejam sudah aku menemani ibu membungkus asinan. Tak terasa juga subuh menjemput pagi dan aku belum siap sama sekali untuk bersekolah.

“Nduk, ayuk kamu siap-siap. Nanti Ibu Rahayu menunggu” Ibu Rahayu adalah wali kelas ku, disekolah ku yang terpencil dipelosok desa ini memang merupakan sekolah yang sangat ‘apa adanya’. Kami hanya memiliki 3 kelas dan 5 orang guru, dengan jumlah siswa tak lebih dari 50 orang. Dari semua guru, Ibu Rahayu lah yang paling memberi perhatian kepada ku yang memang kurang begitu pintar ini. Beliau lah yang mengajakku untuk bersekolah dan memberi cita-cita besar kepadaku. Seandainya saja aku tidak bertemu dengan beliau, mungkin cita-cita terbesar ku adalah menikah dengan anak Lurah yang memang aku senangi dari kecil dan membelikan sebuah kebaya baru untuk ibu ku. Tapi berkat Ibu Rahayu aku berani bermimpi menjadi orang sukses dan membangun sebuah sekolah yang layak didesa ku.

“Iya bu, Eneng juga sebentar lagi selesai membungkus asinan.” Ku percepat pekerjaan ku dan aku melesat mandi dan memakai baju kebanggaan ku. Putih biru. Ku patut wajah ku dicermin. Ku beri senyum pada pantulan dicermin dan aku berkata. “Bismillah aku siap menuntut ilmu hari ini.” Aku pun izin pergi bersekolah kepada ibu. Ku lihat matahari telah tinggi, ku percepat langkah dan ku ayunkan kaki lebih cepat. Aku tidak ingin terlambat, tidak dengan semua ilmu yang menanti ku disekolah.

Aku pun menaiki jembatan gantung, berhati-hati agar jembatan tidak goyang dan membalikkan beban diatasnya. Dengan perlahan ku telusuri jembatan dan menyebrang ke daratan disebrang. Hup ! aku meloncat dan mendarat dengan perlahan. Aku pun berlari karena melihat cahaya matahari makin. 
Aku takut tertinggal pelajaran.
* * *
Pukul 12.30 wib. Saatnya aku pulang kerumah. Sekolah telah usai dan pelajaran sudah menempel diotak. Kurasakan pusing dan panas menyerang. Ya udara hari itu memang agak panas. Kembali ku ayunkan kaki meninggalkan sekolah. Ingin rasanya cepat-cepat sampai dirumah dan kemudian tidur menginstirahatkan badan. Kembali ku lewati jembatan gantung yg meuji nyali itu. Begitu sudah terlewati kembali aku bergegas pulang.

Begitu sampai disebrang. Aku berjalan sambil menutupi kepala dengan menggunakan tas karena tak tangan dengan teriknya matahari. Terbayang dirumah telah menunggu sirup dingin manis buatan ibu. Begitu melewati kantor Lurah, tampak ibu Lurah yg sedang kebingungan. Aku pun menghampiri beliau.

“Ibu kenapa tampak bingung ?” tanya ku kepada ibu yg anaknya aku senangi itu. “Ibu kehilangan anting, bisa bantu cari ?” jawab ibu itu. Dengan senang hati aku membantu ibu mencari antingnya. Aku pun mencari diteras kantor Lurah itu, aku merangkak mencari dikolong meja dan dibawah kursi, ku susuri tiap petak lantai tak kutemukan anting itu. Ku cari dihalaman, tiba-tiba tampak bagi ku benda mengkilau indah. “Dapat !” teriakku. Segera aku perlihatkan anting temuan itu. ternyata benar itu lah anting yg hilang. “Terima kasih sudah menemukan anting ibu. Siapa nama mu anak manis ?” kata ibu. “Panggil Eneng saja bu, biasanya saya dipanggil Eneng sama orang sekitar sini.”

Ibu pun menawari sejumlah uang untuk rasa terima kasihnya. Namun menurutku uang itu terlalu banyak untuk sekedar upah mencari anting. Aku pun menolak dengan halus. “Tidak bu terima kasih, Eneng harus cepat pulang nanti ibu dirumah cemas. Assalamualaikum.” Pamitku kepada ibu Lurah. Ibu lurah kembali berterima kasih dan menawari ku untuk kapan-kapan mampir kerumah beliau yg memang setiap penghuni desa mengetahuinya.
* * *
Senja pun datang. Lelah dibadan telah ku rasa hilang setelah tidur siang tadi. Aku bergegas mandi dan mengerjakan sholat magrib. Setelah selesai sholat aku pun mengerjakan tugas dari Ibu Rahayu. Disaat konsen belajar, tiba-tiba Ibu masuk kedalam kamar.

“Nduk tolong jaga adik ya. Ibu mau ke rumah Pak Danu membantu menyiapkan makanan untuk acara sunatan besok. Ibu tidak bisa membawa adik.” Kata ibu. Aku pun menaikkan alis dan memandang bingung kepada ibu. Biasanya acara apapun ibu selalu membawa serta adik karena adik memang tidak ingin jauh dari ibu. Seberapa repot pun ibu tetap selalu menggandeng adik ditangannya.

Seakan mengerti dengan kebingungan ku ibu pun berkata “Ibu hanya pergi sebentar nduk. Adik sudah tidur kasihan kalau ibu bangunkan. Kamu jaga sebentar ya.” Aku pun mengangguk dan mencium tangan ibu sebelum ibu pamit pergi. Aku pindah ke kamar ibu untuk menjaga adik yang sedang tidur sambil melanjutkan belajar.
* * *
Aku terbangun mendengar suara tangis adikku. Aku berusaha menenangkan dengan mengelus-elus kepala nya dan membuatkannya susu. Ku lihat jam menunjukkan waktu sudah hampir tengah malam namun ibu belum juga datang. Ku perhatikan jalanan berharap ibu datang namun tak tampak sosok wanita yg melahirkan aku itu.
Entah bagaimana tiba-tiba awan gelap berubah menjadi terang. Asap mengepul dari kejauhan. Hitam menjadi merah. Langit nampak marah. Kebakaran ! tetangga kiri-kanan ribut keluar dari rumah untuk mencari tahu dimana letak kebakaran. Hati ku berdebar-debar mengingat ibu belum pulang. Ibu dimana ?

Ku lihat para bapak-bapak didesa berlari menghampiri arah kebarakan untuk memberi pertolongan. BPK nampaknya tidak bisa diharapkan datang ke desa terpencil ini. Aku pun berdoa agar api cepat padam dan tidak menimbulkan korban. Ditengah keributan samar-samar ku dengar ibu-ibu berbicara dengan cukup keras. “Rumah Bapak  Danu !” astagfirullah aku sangat terkejut. Ku hampiri ibu itu dan bertanya agar lebih jelas. Ternyata benar kebakaran dirumah Pak Danu, rumah yang ibu ku datangi. Segera ku titipkan adikku kepada ibu-ibu tetangga dan berlari menuju arah kebakaran berharap melihat ibu ku baik-baik saja. Aku terus berlari cepat bersama bapak-bapak.

Sampai disana kaki ku lemas melihat besarnya api. Aku melihat sekeliling mencari sosok ibu, tak ku temukan. Aku bertanya kepada orang-orang disana. Kemana ibu ku ? sebagian menjawab tidak tahu sebagian nampak tidak mendengar suara ku. Tiba-tiba istri Pak Danu datang menghampiri dan memelukku haru. Sambil membisikkan kata-kata yang membuat ku kehilangan kesadaran. Ibu ku terperangkap dan dihabisi panasnya api malam itu.
* * *

Setelah Dzuhur jenazah ibuku dikebumikan. Mata ku sembab dan kepala ku pusing. Sekarang bagaimana nasibku, nasib sekolahku dan nasib adik kesayangan ku ? apa yang harus ku jawab bila dia bertanya dimana ibu ? aku hanya bisa menangis. Ibu Rahayu ikut menemani ku saat pemakaman. Aku pun menangis dipangkuan ibu Rahayu. ibu membisikkan kalimat-kalimat penyemangat. Beliau menyuruhku agar berhenti menangis dan tegar menghadapi ini, jangan sampai aku patah semangat dan berhenti sekolah. Aku hanya mengangguk.

Selepas Ashar aku baru pulang. Sambil menggandeng tangan adik aku berjalan gontai menuju rumah. Sekarang siapa yang menunggu ku dirumah dengan senyum hangat ? aku kehilangan sosok semangatku. Saat malam menjelang ibu Lurah datang kerumah ku dengan membawakan gorengan hangat dan sangat enak. Sejenak ku melupakan kesedihan kehilangan seorang ibu.

“Eneng sekarang tinggal sama siapa ?” tanya ibu Lurah.
“Berdua sama adik bu.” Jawab ku. Kembali ku rasakan kesedihan.
“Kalau tinggal dirumah keluarga ibu mau di Jakarta mau ? temani Jaka sekolah disana. Mau ?” tanya ibu. Jaka adalah nama anak beliau yang aku senangi.
“Tapi saya tidak punya uang untuk sekolah diJakarta bu ..” balas ku. “semua biaya kamu dan adikmu nanti ibu yang tanggung. Bagaimana ?” kekhawatiran tentang sekolah dipikiranku pun hilang berubah menjadi perasaan bahagia. Aku akan bersekolah di Ibu Kota besar.
* * *
 17 tahun kemudian

Wanita cantik itu berkaca didepan cermin yang melebihi besar badannya. Dengan menggunakan gaun dan hijab putih, high heels putih pula, riasan wajah yang sesuai, tangan diberi henna dan kuku diberi warna merah, pengantin itu nampak terlihat sangat cantik. Tak henti-hentinya senyum menghiasi wajahnya, menambah cantik parasnya dan membuat siapa saja yang memandangnya ikut tersenyum. Wajahnya berseri-seri memperlihatkan kebahagiaan yang tak terbendung karena sebentar lagi ia akan menjadi seorang istri

“Aduh ayu nya anak Ibu, ayuk nduk calon suami mu sudah menunggu” Kata Ibu Marliana, sosok wanita yang selama ini menjaga dan membesarkan wanita itu sebagai pengganti ibu kandungnya yang lama meninggal. Sosok wanita yang selama ini diketahui nya sebagai Ibu Lurah didesa nya.

“Ia sebentar lagi Eneng siap bu.” Jawab wanita itu. begitu dirasa persiapan telah selesai, Eneng pun berjalan menuju pelaminan dengan didampingi oleh beberapa orang temannya, Ibu Marliana, dan adiknya yang telah menginjak usia remaja. Nampak dibenaknya berputar klise kehidupannya begitu sudah menginjakkan kaki di Ibu Kota. Ia bersekolah dengan rajin dan giat setiap hari bersama adik dan anak Ibu Marliana, Jaka. Tidak dilewatkannya kesempatan besar itu, ia bertekad mewujudkan mimpi besarnya menjadi orang sukses. Sekolah dilewatinya dan kemudian lulus kuliah dengan predikat sebagai sarjana hukum. Tak sampai disitu ia pun mengambil S1 dan S2 diluar negeri bersama Jaka sementara adiknya baru mengikuti ujian SMA. Kini ia benar-benar menjadi seorang pengacara wanita sukses, impiannya membangun sekolah didesa kelahirannya pun terwujud. Dan kebersamaannya yang lama  dengan Jaka menumbuhkan cinta dimasing-masing hati mereka.

Begitu duduk dipelaminan, nampak seluruh ruangan berdecak kagum melihat kecantikan pengantin wanita itu dan keserasian kedua pengantin itu. nampak Ibu Rahayu berserta guru-guru SMP nya didesa ikut tersenyum dan melambaikan tangan kearah Eneng. Penghulu pun nampak tersenyum dan memulai acara ijab dan kabul.

Saya nikahkan engkau, Jaka bin Sulaiman dengan Eneng binti Firman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sejumlah Rp 100.000.000 dibayar tunai.” Kata Bapak penghulu. Yang disambut Jaka dengan kalimat “Saya terima nikahnya Eneng binti Firman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Serentak saksi dan tamu undangan mengucapkan sah. Dan resmilah Eneng menjadi istri lelaki pujaan hatinya dari kecil itu. Eneng pun menenteskan air mata tak menyangka seluruh angan-angan yang dulu hanya berani dilamunannya saja kini menjadi kenyataan. Andai saja Ibu dan Ayahnya masih hidup, tentu mereka ikut senang melihat Putri menjadi pengantik cantik hari ini. Ibu maaf Eneng tidak sempat membelikan ibu sebuah kebaya ! batin Eneng sedih.
Tuhan mempunyai cara sendiri untuk mengabulkan keinginan kita asal kita mau berusaha dan berdoa, tidak menyerah dan tetap berusaha.
TAMAT.

4 komentar:

  1. bagus cerpennya rum,
    alurnya tdk mudah di tebak, trus ceritanya sedih cuma ringan aja sedihnya ..
    *ngelap air mata*

    lanjutkan cerpen berikutnya ya..

    BalasHapus
  2. yg bener ? hehe makasih udah baca + sarannya.
    kalo terlalu sedih ntar tisu dirumahmu habis :p

    BalasHapus
  3. mas kawinnya 100juta cyin, ya ampun banyak bener >,<

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya biar asolole xD hahaha. kali aja ntar saeng dilamar duitnya segitu :3

      Hapus