Kamis, 28 November 2013

Perindu Hujan


tumbrl

Disampingku berdiri, duduk lah seorang gadis mungil yang sedang asik melukis dan memadukan warna menjadi satu, ia tampak sibuk memilih-milih warna yang akan ditumpahkannya ke kertas kanvas berukuran lumayan besar dibandingkan pemilik kertas kanvas tersebut. Goresan demi goresan warna memenuhi kanvas yang semula putih, kuas-kuas menari dan berlarian, warna-warna kontras saling bertubrukan. Dan nampak dari wajahnya terlihat senang. Ekspresinya lembut dan bibirnya sesekali merajut senyuman, tergambar jelas kecintaannya melukis lewat ekspresi lembut yang menyejukkan itu.

Dan Ekspresi lembut nan menyejukkan itu membuat tanganku berkeringat dingin karena sedari tadi menahan gejolak perasaan ingin membelai rambutnya, lama-kelamaan tanganku terasa kaku, kenapa aku tak berani menyentuhnya barang sehelai rambut pun ?
“Wah hujan ! aku boleh hujan-hujanan ?” Pekiknya tiba-tiba. Refleks ku menoleh ke jendela yang sekarang mengalihkan konsentrasi melukisnya. Mengalihkan dari dunia abstraknya. Menghilangkan kekakuan tangan ku dan juga rasa ingin menyentuhnya untuk sejenak.
“Tidak, jangan ! nanti kamu sakit, kamu lupa tugas melukismu harus selesai besok ?”
“Tapi sebentar saja ! aku janji tidak akan sakit dan aku akan menyelesaikan lukisanku hari ini.”
“Tidak, ku larang kau gadis muda.”
“Tapi aku merindukan hujan, aku benci kemarau.”
merindukan hujan ? hanya aku satu-satunya yang boleh kamu rindukan.
“Anjani, tidak jangan !”  cegah ku percuma, suara ku hilang terbawa angin. Kini gadis itu berada dihalaman villa sambil berteriak-teriak senang dan sesekali melambaikan tangan, aku hanya bisa tersenyum sambil menahan khawatir.
“Dimas ayo kesini ! jarang-jarang loh hujan dibulan Mei.”
“Kali ini tidak, kita masih harus menyelesaikan lukisan mu.”
“Jadi yang kamu khawatirkan semua itu hanya tentang tugas lukisan ?”
tidak, kamu salah besar.
“Tidak, bukan.”
“Kalau begitu temani aku melepas rindu, aku ingin mencair dalam hujan.”
aku tak ingin kamu mencair, aku tak ingin kamu hilang, aku tak ingin kamu merindukan hujan.
“Kamu gadis keras kepala.” namun aku tetap melangkahkan kaki keluar, tak kuasa menolak permohonan gadis kecil yang diam-diam aku cintai sepenuh hati.
* * *
Anjani sakit, ia terbaring dikamar bercat pink yang bertemakan musim semi, penyebab sakitnya sudah pasti karena pelepas rindunya kemarin. Aku hanya bisa memandang galak kearah gadis mungil yang warna mukanya terlihat seperti bukan orang yang sedang sakit itu. Sesekali ia bersin dan gelagapan mencari tisu untuk menyeka lendir di hidungnya.
“Minum obatmu, Jani.” kataku dingin, aku bersikap seolah-olah marah agar ia menurut dan meminum obat yang ku sodorkan. Anjani terlalu takut dengan obat yang berukuran besar. Takut tersangkut ditenggorokan adalah alasan terampuhnya dari sekian alasan yang ia buat.
“Jangan paksa aku Dim, kamu tau kenapa.” ketus Anjani bahkan tak memandang obat itu sedikitpun.
“Ayolah ini tak begitu sulit. Hanya perlu beberapa kekuatan.”
“Aku bukan gadis yang kuat.”
“Kau kuat Jani, kau tau itu. gadis mana yang berani hujan-hujanan hanya karena rindu ? Kebanyakan wanita sekarang lemah, mereka takut dengan hujan. mereka mengeluhkan make-up mereka akan luntur, baju mereka akan basah, wangi parfum mereka akan memudar. Tapi kau tidak.”
“Ah kau meledek ku.” suaranya manja terdengar seperti anak kecil yang merajuk. Aku senang melihat tingkahnya seperti itu, wajah yang dengan susah payah ku buat agar terlihat galak itu seketika berubah menjadi lembut. Aku tak pernah bisa memarahinya, bahkan untuk hanya sekedar memaksanya. Aku hanya bisa menyayanginya diam-diam.
“Baiklah aku takkan memaksa lagi. Kau tahu, dimataku Anjani adalah seorang gadis kuat, tapi mungkin aku salah.” sekali lagi ku pancing dia.
“Dimatamu Anjani kuat ?.” Matanya membesar, sepertinya pancinganku berhasil.
“Ya, tapi mungkin aku salah.” bisikku mencoba memancingnya lebih. Aku beranjak dari sampingnya dan menjauh untuk melihat tanggapannya. Nampak ia terkesiap, matanya makin membesar.
“Tidak, Dimas selalu benar dimataku.” giliran ku yang terkesiap mendengar kalimatnya, dimatanya aku selalu benar ?
“Aku mau minum obat, mana obatnya Dimas ? akan ku buktikan kau benar.” katanya. Aku tersenyum, aku berhasil memancingnya. Aku selalu berhasil tentang dia.
* * *
Anjani sehat kembali, ia memang gadis kuat. Anjani pun melanjutkan tugas lukisannya yang terpaksa terhenti karena sakit. Dengan setia aku menemani disamping walaupun sebenarnya aku tak mengerti apa pun tentang lukisan. Aku tak mengerti sebuah coret-coret dan garis yang saling bertabrakan dan bersinggungan itu bisa disebut sebuah lukisan ? Sebuah abstrak bagi mereka yang mengerti seni, namun hanya coret-coretan asal bagi orang awam.
“Kenapa kamu suka melukis Jani ? kamu cantik, bisa saja menjadi model kalau kamu mau menerima tawaran para pencari bakat itu. Kamu pintar, bisa saja menjadi guru atau yang lainnya. Tapi kenapa kamu lebih memilih seni lukis ?” Tanya ku sambil memandang lukisannya, semakin ku pandang semakin ku tak mengerti. Anjani hanya diam sambil tersenyum.
“Anjani, kenapa diam ? Aku sedang bertanya.”
“Karena dengan melukis aku bisa memperlihatkan khayalanku ke kamu, karena dengan melukis aku bisa menciptakan dunia ku sendiri.” Aku tertegun. Sungguh betapa pemikirannya membuat ku kagum. Aku mencintainya Tuhan.
* * *
Pagi kembali datang, aku segera bangun dan menuju teras kamar untuk menghirup udara segar, selain untuk menyegarkan mata yang masih dihinggapi ngantuk, juga sekalian mengisi paru-paru dengan udara bersih. Udara dipedesaan memang tiada tandingannya dibandingkan udara Ibukota yang pengap. Ketika sedang asik memperhatikan burung pipit yang bermain diranting pohon, handphone ku yang terletak diatas meja bergetar, nampak terlihat foto seorang wanita berkemeja biru muncul pertanda bahwa ia lah sang penelpon. Aku segera mengangkatnya dan berbicara singkat sambil ku selipkan kalimat ‘rindu’, ‘ingin bertemu’, dan tentu saja ‘aku mencintaimu, Bella’, setelah selesai aku menaruh kembali handphone itu dan beranjak menuju dapur, namun belum ada selangkah aku dikejutkan oleh kehadiran Anjani yang membawa nampan berisi susu hangat dan beberapa lembar roti serta selai.

“Anjani, ternyata kamu bisa ya bangun pagi.” Goda ku menyembunyikan kaget.
Tuhan aku tak ingin dia mendengarku mengucap cinta pada wanita lain.

“Tadi itu Bella ya, calon istrimu ?” bukannya membalas godaan ku seperti biasanya Anjani malah melontarkan pertanyaan.

“Iya.” Jawabku kaku. Ia pasti akan mengejekku dengan kalimat ‘aku mencintaimu darling muah muah, haha dasar sepasang kekasih labil’seperti biasanya. Namun diluar perkiraan, Anjani hanya tersenyum kecut sambil menaruh nampan diatas meja, dan kemudian pergi. Apa dia cemburu ? Ah pikiran konyol, ia tak mungkin mencemburuiku. Seorang Dimas tak sebanding dengan Anjani. Anjani bintang dan aku hanya bebatuan. Anjani musim semi dan aku musim kemarau. Tak mungkin bersanding, tak mungkin bersama.
* * *
Langit kembali gelap meninggalkan sang surya, namun Anjani tak kunjung bicara. Anjani bungkam, seakan suaranya hilang dibawa serta sang mentari yang digantikan bulan. Anjani ku kenapa ?
“Jani, kamu kenapa ? apa aku ada salah ?” tanya ku pelan. Aku duduk disampingnya. Disampingnya bukan berarti bahu kami saling menempel, aku selalu mengambil jarak beberapa senti darinya untuk batas aman. Aku takut bila aku terlalu dekat dengannya debaran jantung ku akan terdengar dan aku tak ingin ia merasakan jemari ku yang semakin lama semakin dingin.
“aku mohon jangan diamkan aku, malamku sepi dan hanya kamu pemberi canda.” Namun Jani tetap bungkam. Lama Jani hanya memandang kosong kearah TV yang menyiarkan sinetron sampah, acara TV yang selalu ia caci. Ditangannya tergenggam sebuah pas photo berukuran sedang.
Detik bertemu menit, menit merajut waktu lebih lama dibanding biasanya. Aku yang tak tahan dengan keheningan itu pun beranjak keluar. Kalau yang diinginkan Anjani adalah ketenangan, maka akan aku berikan. Aku pun bersender pada tiang teras dan memandang bintang.
“Dimas, aku pernah menonton film. Didalamnya diceritakan bila kita menulis inisial nama orang yang kita cintai dengan jari dibintang, kita akan mendapatkan hatinya. Menurutmu itu masuk akal ?” kata Jani tiba-tiba, entah sejak kapan ia bediri disebelah tiang yang aku senderi.
“Kau sendiri apa menurut mu itu masuk akal ?” tanya ku balik, tidak menjawab pertanyaannya karena aku yakin Jani juga tau aku akan menjawab tidak.
“Aku tidak percaya, itu tidak masuk akal.”
“Kenapa ? bukannya itu romantis, kamu selalu menyukai hal-hal yang romantis.”
“Itu bukan romantis atau tidaknya. Tapi apa mungkin dengan seperti itu dia yang ku cintai akan mencintaiku ? apa dengan menulis dibintang semua yang kita inginkan akan tercapai ? tidak tanpa usaha.”
“Bagus lah kau sudah bisa berpikir lebih tentang cinta.” Kalimatku agak ketus karena kalimat Jani barusan menegaskan bahwa ia sedang jatuh cinta pada sesorang.
“Ya aku memang berpikir itu tidak masuk akal, tapi aku melakukannya hampir disetiap malam. Bukan hanya sekedar menulis inisialnya, tapi juga melukis wajahnya pada bintang.”
“Kenapa ? bukannya kamu tahu itu hanya buang-buang waktu ?”
“Karena aku tau usaha ku mencintai dia hanya sia-sia. Ketika kamu tahu hal itu kamu akan melakukan hal apa saja walaupun kamu tahu itu hanya buang-buang waktu.” Jelas Anjani. Rahangku mengeras. Lelaki mana yang dicintainya ? Lelaki mana yang menyia-nyiakan hati wanita yang diam-diam aku cintai bahkan melebihi diriku sendiri ?
“Siapa dia, yang selalu kamu ukir namanya dibintang itu ?”
“Tak penting, dia akan segera menikah.”
“Kenapa kamu bisa mencintai lelaki yang akan menikah ?”
“Aku sudah lama mencintainya, tanpa ia sadari.”
“Kenapa tak kamu ungkapkan ?”
“Karena sudah ku bilang. Itu hanya sia-sia, ia tak pernah sadar walaupun aku sudah berulang kali memberi tanda. Lagipula aku tahu bahwa aku berdosa mencintainya.” Setelah berucap seperti itu Anjani melangkah masuk kedalam, meninggalkan aku yang merasa seperti ditusuk ribuan jarum. Kali ini bukan hanya jemariku, tapi seluruh badanku kaku.
“Jani, dari dulu sampai sekarang aku menyimpan satu rahasia darimu.” Kataku menghentikan langkah Jani. Ia tak menoleh, tak mempertanyakan kalimat ku barusan, tak juga melanjutkan langkahnya. Ia menunggu.
“Kamu tau, siapa wanita yang aku cintai hidup dan matiku ?.”
“Bella kan ? Itu bukan rahasia karena siapa pun mengetahui itu” Tanya Anjani tetap memunggungi ku. Tanganku dingin, inginku membelai rambutnya. Aku maju menghampiri Jani dan ku beranikan diri, aku sudah tak bisa menahannya. Aku bukan hanya sekedar menyentuh ujung rambutnya, tapi aku merengkuhnya, memeluknya dari belakang.
“Dia yang ku cinta memiliki ekspresi wajah yang lembut nan menyejukkan siapapun yang melihatnya. Dia yang ku cinta selalu membuat tanganku kaku karena menahan rasa ingin menyentuhnya. Dia yang ku cinta selalu membuatku cemburu dengan kerinduannya akan hujan. Dia yang ku cinta selalu menolak minum obat dengan berbagai alasan. Dia yang ku cinta selalu membuatku kagum dengan pemikiran-pemikiran polosnya. Dia kuat, dia pintar melukis, dia cantik dan dia adalah adik kandungku sendiri.” Anjani terdiam, aku pun terdiam. Tanganku masih erat memeluknya. Gerimis mulai turun, langit seakan menangis mendengar pengakuan tulusku.
“Jelas itu bukan Bella.” Jawabnya. Suaranya parau. Anjani ku menangis.
“Iya, dia itu Anjani. Anjani lah dia yang selama ini kucintai.” Tuhan pasti murka atas cintaku, cinta yang ku pendam adalah cinta yang dibenci Tuhan. Anjani hanya diam, ia berbalik dan kini kami saling berhadapan. Aku siap untuk dicacinya atau bahkan mungkin diludahinya. Tapi ia balas memelukku.
“Satu-satunya inisial nama lelaki yang aku tulis dibintang adalah DA. Dimas Arjuna. Aku sadar aku berdosa mencintaimu. Tapi aku tak bisa terus menutupi ini. Dena Anjani mencintamu, kak.”
Mataku basah oleh airmata. Diantara pandangan yang mengabur bisa ku lihat pas photo yang tadi digenggam Jani. Itu adalah photo sewaktu aku wisuda dengan Ayah berdiri disamping kiriku, ibu duduk didepanku bersama Jani, adikku yang tersenyum amat manis didepan kamera.




PERINDU HUJAN. TAMAT
27 November 2013, 9.41 PM
Sekar Arum Mukti

7 komentar:

  1. wow. so sweet neng (y)

    BalasHapus
  2. "Kebanyakan wanita sekarang lemah, mereka takut dengan hujan. mereka mengeluhkan make-up mereka akan luntur, baju mereka akan basah, wangi parfum mereka akan memudar"

    yang ini pas banget bahaha


    ceritanya campur aduk rum, ada terharu, lucu, dll jadi satu, walau lucunya gak terlalu banyak tapi pas ceritanya :')
    kasih jempol

    BalasHapus
  3. serius ? terima kasih sdah membaca ^^

    BalasHapus
  4. bagian itu bujur kelo ? binian wahini kayatu berataan hohoho tapi lun kada *kisahnya*


    ebuseet kededa niat gasan humor, niatnya bikin nangis -_- mun ada humornya itu bukan kesengajaan hehe

    BalasHapus
  5. haha kdpp aja hubur dalam tulisan yg agak serius itu bagus, jadi irama naik~turunnya ceillah


    kurang promo aja ini tulisan hha

    BalasHapus
  6. hubur ? hiburan maksudnya ? ._.
    tapi bagus cerpennya lah ? masih supan nah mun dibaca orang banyak. tekutan orang kada paham maksudnya --a

    BalasHapus
  7. y srius lh, cucok.hehe

    BalasHapus